Selasa, 11 Maret 2025

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA TAK MAMPU BAYAR FIDYAH?

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA TAK MAMPU BAYAR FIDYAH?

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, saya menderita penyakit yang cukup parah dan nampaknya susah untuk disembuhkan. Namun saya juga tidak mampu membayar fidyah karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan. Bagaimanakah hukumnya? (Aries, Purwokerto).

Jawab:

Wajib Tidaknya Puasa Atas Orang Sakit

Mengenai kewajiban puasa atas orang sakit (al-mariidh) para fuqaha merincinya dilihat dari sifat sakitnya, yaitu apakah sakitnya dapat diharap sembuh (yurjaa bur`uhu) atau tidak bisa diharap sembuh (laa yurjaa bur`uhu).
Jika seseorang menderita penyakit yang dapat diharap kesembuhannya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa Ramadhan). Demikianlah kesepakatan (ittifaq) seluruh fuqaha. (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213; Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95). Jika dia menduga kuat bahwa ia akan binasa (mati) atau mengalami bahaya (madharat) yang besar karena berpuasa, misalnya ia khawatir salah satu inderanya/organnya akan hilang /rusak, maka semua ulama pun sepakat, wajib atasnya berbuka dan haram dia berpuasa (Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat Mazhab, hal. 95; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213).

Jadi, puasa Ramadhan tidak wajib atasnya. Jika dia telah sembuh dari penyakitnya, wajib dia mengqadha` puasanya pada hari-hari yang lain (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118; Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178). Firman Allah SWT :

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah atasnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah : 184)

Jika seseorang menderita penyakit yang tidak dapat diharap sembuh, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya. Tapi dia wajib membayar fidyah kepada orang miskin (Lihat Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178; As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 118;). Dalilnya adalah firman Allah SWT :

“Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah : 184)

“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj : 78)

Demikianlah hukum syara’ tentang puasa bagi orang yang sakit. Jika kita hendak menerapkan hukum syara’ ini kepada pemuda tersebut yang dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit radang prostat, maka lihatlah dulu penyakitnya. Dengan kata lain, harus dilihat dulu manath-nya (Manath adalah fakta yang akan menjadi objek penerapan hukum syara’). Apakah penyakitnya itu masih bisa diharapkan untuk sembuh atau tidak? Jawaban untuk penelaahan manath ini berarti tergantung kepada ahlinya, yaitu para dokter yang ahli masalah ini. Maka, hendaklah pemuda itu bertanya kepada dokter mengenai hal ini, lalu kalau sudah jelas duduk masalahnya, terapkanlah hukum yang ada sesuai dengan faktanya. (Kami berharap dan berdoa, pemuda tersebut tidak membayar fidyah, tapi cukup mengqadha` saja).

Membayar Fidyah

Sebelumnya perlu kami ingatkan, membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang sakit yang sakitnya tidak dapat diharapkan sembuhnya. Atau bagi orang tua renta yang sudah tidak kuasa lagi berpuasa. Adapun yang sakitnya masih ada harapan untuk sembuh, maka kewajiban yang ada adalah qadha`, bukan membayar fidyah.

Membayar fidyah artinya memberi makan orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Jika tidak berpuasa sehari, membayar fidyah satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Ini kewajiban bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, juga bagi orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa (Lihat QS Al-Baqarah : 184).

Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al-qamhu). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 62). Menurut jumhur ulama, fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang dominan pada suatu negeri (ghaalibu quut a-balad). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Jadi untuk Indonesia, fidyah dibayarkan dalam bentuk beras, yang takarannya satu mud. Untuk hati-hati, berikan dalam berat 1 kg beras.
Apakah fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang? Menurut ulama Hanafiyah, boleh dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab membayar fidyah dengan nilainya tidak didukung dengan dalil.

Adapun dalil yang ada (QS 2 : 184), secara jelas menyebutkan pembayaran fidyah dalam bentuk makanan, yaitu firman-Nya yang berbunyi “wa ‘ala lladzina yuthiiqunahu fidyatun tha’aamu miskin.” .

Artinya, fidyah itu adalah dengan memberi makan (tha’am). Membayar fidyah dalam bentuk makanan itulah yang diamalkan oleh para shahabat.

 

Dalam kitab Al-Muhadzdzab I/178, Imam Asy-Syirazi meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas RA, “Barangsiapa yang menjadi orang tua renta lalu dia tidak mampu berpuasa Ramadhan, maka wajiblah untuk setiap-tiap hari [dia tidak berpuasa] satu mud gandum.” Ibnu Umar RA berkata, “Jika seseorang tidak mampu berpuasa, hendaklah ia memberi makan setiap harinya satu mud.” Diriwayatkan dari Anas RA, bahwa beliau tidak mampu berpuasa setahun sebelum wafatnya, maka beliau berbuka dan memberi makan. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Shalah, hal. 119).

Jika Tidak Mampu Membayar Fidyah

Sekali lagi perlu diingat, kewajiban fidyah ini untuk orang sakit yang tidak bisa diharap lagi sembuhnya. Tidak berlaku untuk yang sakitnya masih ada harapan untuk disembuhkan.

Seseorang yang sakit dengan penyakit yang tidak ada harapan sembuh, atau orang tua renta yang tidak kuat lagi berpuasa, maka dia wajib membayar fidyah (QS Al-Baqarah : 184).

Lalu bagaimana kalau untuk membayar fidyah pun dia juga tidak mampu, misalkan karena dia adalah orang faqir atau miskin?
Membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang yang mampu (muusir). Kemampuan ini diukur pada waktu ia berbuka karena sakitnya itu. Jadi jika ada orang sakit yang tidak bisa diharap sembuhnya, lalu dia berbuka pada 1424 H (tahun lalu), apakah dia wajib membayar fidyah? Maka jawabannya dilihat, jika pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan mampu, maka dia wajib membayar fidyah. Jika pada pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan tidak mampu, maka dia tidak wajib membayar fidyah. Meskipun saat ini (1425 H) dia menjadi orang yang mampu.

Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat) menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, yaitu gugurnya kewajiban fidyah bagi orang yang tidak mampu. Pendapat ini disepakati juga oleh Ibnu Hajar, meskipun berbeda dengan pendapat Ar-Rafi’i dan Ar-Ramli (As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/204; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687).

Pendapat Imam Nawawi itu kiranya lebih tepat dan rajih, sesuai firman Allah SWT :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 286). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 11 Oktober 2004
Muhammad Shiddiq Al-Jawi[]

Kamis, 13 Juni 2024

Penentuan Idul Adha Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri.

Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.

Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Karena itu, kaum muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia.

Jadilah Indonesia sebagai salah satu negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab, Idul Adha di Indonesia sering kali jatuh pada hari pertama dari hari tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada yaumun nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).

Kewajiban kaum muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Hujjah pertama:

الفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ، وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ

“Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika umat manusia menyembelih korbannya.” (HR Tirmidzi dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā)

Selain itu Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadits Nabi ﷺ dengan lafadz berbeda:

الصَّومُ يومَ تصُومُونَ، والفِطرُ يومَ تُفطِرُون، والأَضحَى يومَ تُضَحُّونَ

“Berpuasa (Ramadlan) adalah saat kalian berpuasa, Idul fitri adalah saat kalian berbuka, dan Idul Adha adalah masa kalian menyembelih (hewan korban).” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perayaan Idul Adha dilakukan pada saat (jamaah haji) melakukan penyembelihan hewan korban (berkorban), yaitu tanggal 10 Dzulhijah, bukan hari yang lain. Dalam hal ini Ummul Mukminin ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā mengatakan:

إنما يوم عرفة يوم يعرف الإمام، ويوم النحر يوم ينحر الإمام

“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkorban itu adalah masa Imam (Khalifah) menyembelih kurban.” (HR Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan)

Ini lebih menegaskan lagi bahwasanya penetapan hari (wukuf) di Arafah, dan ‘Idul Adha (yaumul hadyi) diputuskan oleh Imam (Khalifah) kaum muslimin, yang berlaku serentak untuk seluruh kaum muslimin di negeri manapun, baik mereka tinggal di negeri Hijaz, Mesir, Suriah, Turki, Irak, Pakistan, Indonesia, Uzbekistan, ataupun di Malaysia.

Hujjah ke-2:

Hadits yang berasal dari Husain bin Harits al-Jadali, yang menyampaikan:

أن أمير مكة خطب ثم عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما

“Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah ﷺ memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan ruyat. Apabila kita tidak melihat (ruyat)nya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR Abu Daud)

Hadits ini menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Makkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, thawaf ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah, dan seterusnya.

Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Makkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan korban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya.

Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan haiwan korban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Makkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.

Oleh karena itu, kaum muslimin di seluruh dunia wajib merayakan Idul Adha secara serentak pada hari yang sama, yaitu pada saat ketika jamaah haji tengah melakukan penyembelihan kurban —pada hari ke-10 bulan Dzulhijjah— dan bukan pada awal hari tasyriq.

Hujjah ke-3:

Hadits Rasulullah ﷺ melalui Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ

“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang berpuasa pada hari Arafah (bagi jamaah haji yang ada) di padang Arafah.” (HR Abu Daud, Nasa`i, dan Ibnu Khuzaimah)

Disunnahkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji untuk berpuasa pada hari (wukuf) Arafah, atau pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Hari Arafah adalah hari itu jamaah haji melakukan wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan pula bahwa hari Arafah itu satu, tidak berbilang dan tidak boleh berbilang.

Jadi bagaimana mungkin kaum muslimin di Indonesia berpuasa Arafah pada hari penyembelihan hewan korban, yaitu pada jamaah haji tengah menjalankan Idul Adha?

Dan bagaimana mungkin mereka merayakan Idul Adha pada hari sewaktu jamaah haji sudah memasuki awal hari tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah)?

Hujjah ke-4:

Hadits Rasulullah ﷺ melalui Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى، وَيَوْمِ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari Idul Fitri, dan hari Idul Adha.” (HR Bukhari dan Muslim)

Selain itu kita diharamkan berpuasa pada hari tasyriq, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ

“Hari-hari di Mina (hari-hari tasyriq) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah Taʿālā.” (HR Muslim)

Maka, tidak diperbolehkan kaum muslimin menjalankan puasa sunat pada hari tatkala jamaah haji tengah merayakan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

KH Muhammad Shiddiq al-Jawi
mustanir.net/penentuan-idul-adha.

Keluarga besar pondok pesantren Alhusna menghaturkan do'a semoga semua amal Ibadah kita diterima Allah Ta'ala, amiin yaa Robbal'alamin. 🤲🤲🤲🌹

Kamis, 16 Mei 2024

Apakah Usaha Manusia Bisa Menambah Rezeki

Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah. 

 Apakah Usaha Manusia Bisa Menambah Rezeki  

Soal:  

Apakah usaha menambah jumlah rezeki yang telah Allah tetapkan? Apakah seseorang duduk-duduk di rumahnya, rezekinya sama dengan seandainya dia bekerja? Apakah mengumumkan (mengiklankan) dan mempromosikan pekerjaan akan menambah jumlah rezeki yang telah Allah tuliskan?  

 Jawab:  

Tampaknya ada suatu kerancuan dalam topik rezeki dan usaha ini. Di atas semuanya itu, perkara ini telah dijelaskan, khususnya di dalam Al-Kurâsah. Saya akan meringkaskan sebagiannya sebagai berikut:  
Adapun masalah rezeki maka banyak ayat-ayat yang qath’iy dalaalah yang tidak menyisakan ruang untuk orang yang mengimani al-Quran kecuali dia mengimani bahwa rezeki itu di tangan Allah. Allah memberikan rezekikepada orang yang Dia kehendaki.  

Masalah rezeki berbeda dengan masalah al-Qadar. Sebabnya, al-Qadar bermakna bahwa Allah SWT mengetahui suatu perkara tertentu akan terjadi, sebelum perkara itu terjadi. Jadi Allah telah menuliskan dan menetapkan sesuatu. Adapun terkait rezeki bukan hanya bahwa Allah SWT mengetahui bahwa si fulan akan diberi rezeki sehingga Dia telah menuliskan dan menetapkan rezeki itu untuk dirinya. Namun, selain itu, Allah telah menetapkan rezeki hamba. Yang memberikan rezeki tersebut adalah Allah. Bukan hamba. Inilah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat al-Quran. Allah SWT, misalnya, berfirman:  

 لَا نَسۡئَلُكَ رِزۡقٗاۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ ١٣٢  

Kami tidak meminta rezeki kepada kamu. Kamilah Yang memberikan rezeki kepada kamu. Akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa (QS Thaha [20]: 132).  

&nbsp وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلٗا طَيِّبٗاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ ٨٨  

Makanlah makanan yang halal dan baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepada kalian. Bertakwalah kalian kepada Allah, Tuhan Yang kalian imani (QS al-Maidah [5]: 88).  

Ayat-ayat ini qath’iy dalaalah yang menunjukkan bahwa Allahlah Pemberi rezeki. Dia pula Yang memberikan rezeki itu kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dia juga yang melapangkan rezeki untuk siapa saja yang Dia kehendaki dan menyempitkan rezeki untuk orang yang Dia kehendaki. Jadi semua ayat-ayat tersebut menisbatkan rezeki kepada Allah SWT. Artinya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa tidak ada yang memberi rezeki selain Allah. Ini menunjukkan bahwa Allahlah Pemberi rezeki. Ini merupakan penyandaran (penisbatan) yang hakiki.  

Jadi penisbatan rezeki kepada Allah adalah penisbatan yang hakiki. Lebih dari itu, tidak dinyatakan sama sekali penisbatan rezeki kepada manusia, yakni bahwa manusialah yang memberikan rezeki kepada dirinya sendiri. Tidak ada penisbatan semacam itu baik di dalam al-Quran maupun Hadis Nabi saw. Di dalam semua nas yang ada, penisbatan rezeki itu hanya kepada Allah SWT.  

Adapun apa yang dinyatakan berupa penisbatan rezeki untuk manusia yang memberikan ‘rezeki’ kepada manusia lainnya, maka yang dimaksudkan adalah “serahkanlah harta untuk mereka”. Jadi, yang diinginkan bukanlah perbuatan memberi rezeki. Misalnya firman Allah SWT:  

وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥  

 Janganlah kalian menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) (QS an-Nisa’ [4]: 5).  

Allah SWT juga berfirman:  

 وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ ٨ 

 Jika sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) (QS an-Nisa’ [4]: 8).  

Yang diinginkan dengan ayat pertama adalah “berikan makanan untuk mereka”. Yang diinginkan dengan ayat yang kedua adalah “maka serahkanlah untuk mereka dari rezeki yang kalian peroleh ini”. Jadi itu adalah perintah agar kepada mereka diberikan sebagian rezeki. Itu bukan penisbatan rezeki kepada mereka. Tidak dinyatakan penisbatan rezeki dengan makna yang melakukan ar-rizqu (pemberian) kecuali kepada Allah SWT. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:  

نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ ١٥١  

Kami akan memberikan rezeki kepada kalian (QS al-An’am [6]: 151).  

 Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:  

 وَرِزۡقُ رَبِّكَ ١٣١  
Rezeki (karunia) Tuhanmu (QS Thaha [20]: 131).  

 Allah SWT juga berfirman:  

 كُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ مِن رِّزۡقِ ٱللَّهِ ٦٠  

Makan dan minumlah dari rezeki Allah (QS al-Baqarah [2]: 60).  

 Di dalam semua nas tersebut, perbuatan memberi (fi’lu ar-rizqi) dinisbatkan dan disandarkan kepada Allah SWT. Ini memberikan makna yang tidak menerima penakwilan, yaitu bahwa Allah sajalah Yang Maha Pemberi rezeki (ar-Razâq) dan bahwa rezeki itu ada di tangan-Nya.  

 Berdasarkan hal ini, kita wajib mengimani bahwa Allah adalah Pemberi rezeki kepada makhluk-Nya. Sebabnya, dalilnya qath’iy ats-tsubût dan qath’i ad-dalâlah. Jadi mengimani perkara ini wajib dan mengingkarinya adalah kufur. Maka dari itu, siapa saja yang tidak mengimani bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Pemberi rezeki maka sungguh dia telah kafir, dan tempat berlindung hanya kepada Allah. Ini masalah rezeki dari sisi keimanan dan dari sisi dalil.  

 Hanya saja, selain memerintahkan keimanan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, Allah juga memerintahkan manusia untuk berusaha memperoleh rezeki ini. Allah SWT berfirman:  

 هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ ١٥  

Dialah Yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya (QS al-Mulk [67]: 15).  

Allah SWT juga berfirman:  

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ ١٠  

 Jika telah ditunaikan shalat Jumat maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah (QS al-Jumu’ah [62]: 10).  

 Di dalam dua ayat ini, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha mencari rezeki. Jika perintah untuk berusaha mencari rezeki ini dikaitkan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, menjadi jelas makna keberadaan Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki. Dengan itu menjadi jelas makna iman bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki.  

 Ayat-ayat pertama semuanya memastikan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki. Artinya, pihak yang memberi rezeki adalah Allah, dan bukan manusia. Adapun dua ayat ini memerintahkan manusia untuk bekerja guna memperoleh rezeki Allah.  

 Faktanya, usaha bukanlah sebab untuk memperoleh rezeki. Hal itu karena sebab itu menghasilkan musabab secara pasti. Musabab tidak dihasilkan kecuali dari sebabnya. Pisau adalah sebab terpotong dan pisau lah yang memotong. Api adalah sebab terbakar dan apilah yang membakar. Tidak terjadi keadaan terpotong tanpa pisau, yakni tanpa alat yang tajam. Tidak terjadi pembakaran tanpa api, yakni tanpa materi yang membakar. Ini adalah sebab.  

 Seandainya usaha mencari rezeki seperti itu, niscaya merupakan sebab rezeki, dan niscaya realitanya bahwa usaha adalah yang mendatang-kan rezeki. Ini sebagaimana pisau adalah yang memotong dan api adalah yang membakar.  

Namun, dalam usaha mencari rezeki tidak demikian. Artinya, tidak seperti pisau terkait dengan keadan terpotong, dan tidak seperti api terkait dengan keadaan terbakar. Sebabnya, kadang telah terjadi usaha mencari rezeki, tetapi rezeki tidak diperoleh. Kadang rezeki diperoleh tanpa melalui usaha/pencarian rezeki. Artinya, kadang telah terjadi, sebab tetapi tidak terjadi musabab. Kadang telah terjadi musabab tanpa sebabnya, bahkan boleh jadi tanpa sebab apapun. Ini menunjukkan dengan dalaalah yang qath’i bahwa usaha bukanlah sebab bagi datangnya rezeki.  

Contoh-contoh atas hal itu di dalam realita kehidupan sangat banyak, yang memberikan kepastian. Seorang pedagang berusaha untuk mendapatkan laba, tetapi hasil dari perdagangannya adalah kerugian atau tidak ada laba. Kadang telah terjadi usaha, tetapi tidak diperoleh rezeki. Artinya, telah ada sebab, tetapi tidak dihasilkan musabab. Karena musabab itu tidak dihasilkan maka itu bukanlah sebab. Sebabnya, sebab itu secara pasti menghasilkan musabab.  

 Orang yang mewarisi harta berarti rezekinya itu datang tanpa dia berusaha cari. Seandainya usaha adalah sebab rezeki niscaya tidak diperoleh harta tanpa ada usaha. Pasalnya, musabab itu tidak dihasilkan kecuali dari sebabnya yang jadi penyebabnya. Perolehan harta dengan waris tanpa ada usaha merupakan dalil bahwa usaha bukan sebab untuk rezeki karena harta warisan diperoleh tanpa adanya usaha.  

Semua ini menetapkan secara qath’i bahwa usaha untuk mencari rezeki bukan merupakan sebab untuk rezeki. Artinya, usaha itu bukan yang mendatangkan rezeki. Jadi usaha itu bukan seperti pisau yang melakukan pemotongan dan bukan seperti api yang melakukan pembakaran. Jadi usaha bukanlah yang mendatangkan rezeki sebab usaha bukanlah sebab untuk rezeki.  

Begitulah. Yang Maha Pemberi rezeki adalah Allah SWT. Ini termasuk akidah. Adapun usaha adalah bagian dari hukum syariah. Jika kita berusaha, kita mendapatkan rezeki yang telah Allah tetapkan untuk kita selain mendapatkan pahala atas usaha kita dalam mencari rezeki. Jika kita tidak berusaha maka kita pun mendapatkan rezeki yang telah Allah tetapkan untuk kita, tetapi kita telah menyalahi hukum syariah jika kita tidak berusaha sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita.  

 [Dinukil dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 27 Shafar 1445 H/12 September 2023 M]